Liputan6.com, Jakarta Masyarakat di beberapa daerah kerap menggunakan tanaman obat untuk memperbaiki kondisi tubuh.
Seperti masyarakat suku Tetun yang merupakan salah satu kelompok etnis dominan di wilayah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penggunaan tanaman obat oleh suku Tetun diteliti oleh Dosen Universitas Katolik Widya Mandira Kupang NTT, Maximus M. Taek.
Ia menginventarisasi 142 spesies tumbuhan dari 62 famili yang digunakan masyarakat sebagai bahan pengobatan. Ia menemukan bahwa tumbuhan liar cenderung lebih dipercaya berkhasiat dibandingkan tanaman budidaya
Masyarakat Tetun mendefinisikan tentang sehat sebagai kondisi tubuh yang normal, tidak mengalami keluhan, serta hidup selaras dengan alam, lingkungan sosial, dan arwah leluhur. Sedangkan sakit dimaknai sebagai ketidakenakan fisik seperti nyeri atau demam.
“Sementara penyakit adalah gangguan yang berasal dari dalam atau luar tubuh,” jelasnya pada forum diskusi dalam webinar ke-30 yang digelar Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang membahas etnomedisin sebagai potensi warisan tradisional bagi generasi milenial, pada Kamis (21/08/2025).
Ia mengatakan, Pulau Timor secara politik terbagi dua, bagian barat masuk wilayah Indonesia yakni Nusa Tenggara Timur, sementara bagian timur menjadi negara Timor Leste. Pulau-pulau tersebut dihuni berbagai suku asli, seperti Dawan atau Atoin Meto, Tetun, Kemak, Helong, dan Bunaq. Nama suku umumnya juga mencerminkan bahasa yang mereka gunakan.
Sekelompok milenial mulai berupaya membangkitkan jamu, bukan hanya sebagai obat atau minuman tradisional, tapi juga sebagai gaya hidup. Mereka meyakini jamu menyehatkan dan menyenangkan jadi minuman sehari-hari.
Penggunaan Rimpang di Timor
Berbeda dari daerah lain seperti Jawa, penggunaan rimpang di Timor sangat terbatas, dan penggunaan ramuan kecantikan juga sangat jarang.
“Ini mencerminkan fokus masyarakat pada kebutuhan dasar, bukan estetika,” jelas Maximus.
Ia juga mengungkapkan, masyarakat Timor mewarisi kekayaan pengetahuan pengobatan tradisional yang bersumber dari pengalaman hidup, alam sekitar, dan filosofi spiritual. Namun, karena tidak terdokumentasi dan masih terpinggirkan dalam dunia medis formal, warisan tersebut berisiko hilang jika tidak segera diselamatkan.
Jembatani Tradisi dan Ilmu Pengetahuan
Ia pun mempercayai upaya saintifikasi yakni menjembatani antara tradisi dan ilmu pengetahuan sebagai jalan tengah terbaik. Namun, proses tersebut, menurutnya panjang, mahal, dan menantang.
“Lebih mudah mungkin untuk mencetak profesor daripada menghasilkan produk siap pakai” ucapnya.
Namun, ia mengaku sangat optimis bahwa dengan kolaborasi berbagai pihak, termasuk BRIN dan institusi riset lain, etnomedisin orang Timor dapat menjadi kontribusi nyata bagi pengobatan berbasis kekayaan lokal Indonesia.
Dalam sambutannya, Herry Jogaswara Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra) BRIN menerangkan, tradisi dan pengetahuan lokal, khususnya dalam bidang pengobatan tradisional, bagian dari kekayaan budaya yang memiliki nilai dan potensi luar biasa.
“Tantangan terbesarnya adalah cara memperkenalkan dan mentransformasikan nilai-nilai tersebut agar dapat dipahami dan diterima oleh generasi baru, khususnya generasi milenial,” lanjutnya.
Menurutnya, perlu pendekatan kreatif dan teknik yang tepat agar warisan tradisional tidak hanya dipelajari, tetapi juga dimaknai dan dilestarikan.
“Di mana upaya pelestarian warisan budaya bangsa ini melingkupi berbagai bidang seperti kesehatan, lingkungan, dan identitas budaya,” paparnya.
Hidupkan Kembali Nilai Budaya dan Pengetahuan Tradisional
Pada kesempatan yang sama Sastri Sunarti Kepala PR MLTL BRIN menegaskan, salah satu contoh konkret yaitu pengobatan tradisional sebagai salah satu bentuk kekayaan luar biasa yang dimiliki Indonesia.
“Ini bukan sekadar warisan, melainkan bagian dari jejaring budaya, anyaman budaya yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat selama berabad-abad,” tuturnya.
Mengulas kembali penyampaian Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, yang memberikan perspektif untuk membuka cakrawala berpikir dalam melakukan riset, Sastri menekankan agar anyaman budaya itu dapat dijalankan secara lebih nyata dan riil.
“Saya percaya, apa yang kita bahas hari ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru, karena melalui riset-riset yang telah dilakukan. Kita sebenarnya telah mulai menghidupkan kembali nilai-nilai budaya dan pengetahuan tradisional tersebut,” terangnya.
Ditegaskannya, obat-obatan tradisional adalah bagian dari jejaring kekayaan budaya. “Tentunya ini menjadi pengetahuan turun-temurun yang tersebar dari Indonesia bagian timur hingga Jawa. Ia berasal dari manuskrip kuno hingga praktik modern,” tutupnya.