KEMATIAN seorang balita berusia 3 tahun bernama Raya akibat menderita cacingan mendapat sorotan publik. Balita yang tinggal di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, itu diketahui tinggal bersama ibu dengan gangguan jiwa dan ayahnya yang juga menderita sakit paru-paru (TBC).
Sang balita ditemukan tim pegiat sosial dalam kondisi kritis dan sempat dibawa ke rumah sakit pada 13 Juli 2025. Selama perawatan, dari tubuhnya dikeluarkan cacing hidup hingga seberat 1 kilogram. Bahkan hasil CT scan menunjukkan cacing dan telurnya sudah menyebar ke otak. Dia akhirnya meninggal pada 22 Juli 2025.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi merasa prihatin dan kecewa atas meninggalnya sang balita. Dia mengatakan akan memberikan sanksi kepada aparat desa setempat. Dedi menilai fungsi dasar lembaga di desa, dari PKK, posyandu, hingga bidan desa, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Sanksi akan kami berikan kepada siapa pun dan daerah mana pun yang terbukti tidak memberikan perhatian kepada masyarakat,” kata Dedi, dikutip dari video yang diunggah di akun Instagram pribadinya pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Dedi mengatakan pihaknya sudah menurunkan tim untuk mengevakuasi dan merawat keluarga korban yang juga menderita penyakit TBC. Dia pun meminta semua aparat pemerintahan di Jawa Barat lebih sigap dalam memantau kondisi kesehatan masyarakat di lingkungannya.
KPAI Sebut Negara Lambat Hadir
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kasus meninggalnya balita di Sukabumi karena cacingan itu merupakan potret nyata kelalaian negara dalam melindungi warganya. KPAI prihatin pemerintah desa setempat tak bisa membedakan mana situasi darurat dan rentan yang membutuhkan pertolongan cepat.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan peristiwa itu menunjukkan betapa akses layanan dasar anak masih terganjal oleh hal administratif, seperti tidak adanya nomor induk kependudukan (NIK). “Begitu Raya tidak punya nomor kependudukan, gugurlah semua kewajiban negara. Maka Raya meninggal,” ujar Jasra dalam keterangan tertulis pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Raya dirawat sejak 13 Juli hingga 22 Juli 2025 karena cacingan kronis. Namun, menurut pemberitaan media, semua biaya perawatan sebesar Rp 23 juta harus ditanggung sendiri keluarganya dengan bantuan pegiat sosial. Padahal, kata Jasra, semestinya berbagai program negara di bidang kesehatan dan perlindungan sosial dapat diakses tanpa hambatan.
Menurut dia, kematian Raya bukan hanya akibat sakit, melainkan juga cermin dari pengabaian dan penelantaran anak yang berlangsung lama. Seharusnya pencatatan kelahiran dilakukan secara aktif oleh negara, bukan dibebankan kepada keluarga yang justru tidak mampu mengurus administrasi.
“Anak tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Penderitaan keluarga Raya berlapis-lapis, tapi sistem layanan negara justru terhenti karena alasan administratif,” tuturnya.
KPAI mendesak pemerintah pusat ataupun daerah segera menutup celah kebijakan agar anak-anak dalam pengasuhan keluarga dengan orang tua ODGJ atau sakit berat tidak kembali terabaikan. Jasra juga menekankan pentingnya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengasuhan Anak yang sudah 15 tahun mangkrak di Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagi Jasra, meninggalnya Raya harus menjadi "lonceng kematian" yang mengingatkan semua pihak, dari RT/RW, posyandu, desa, hingga pemerintah daerah dan pusat, agar lebih sigap mendeteksi keluarga rentan. “Kepedulian kita telat. Negara lambat hadir. Karena itu, jangan sampai ada anak-anak lain yang bernasib sama seperti Raya,” ujarnya.
Menteri PPPA: Kejadian Sukabumi Mencerminkan Ada Pelanggaran Hak Anak
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengatakan kasus meninggalnya balita di Sukabumi akibat cacingan menjadi peringatan serius tentang pentingnya perlindungan hak-hak anak, terutama di bidang kesehatan, pengasuhan, dan lingkungan hidup yang layak.
“Peristiwa ini amat sangat memilukan, penderitaan yang harus dialami anak itu, bahkan sampai meninggal. Nurani dan akal sehat kita diingatkan bahwa pemenuhan hak anak adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya orang tua anak,” kata Arifah di Jakarta, Kamis, seperti dikutip dari Antara.
Pihaknya menyampaikan keprihatinan mendalam atas meninggalnya korban. Menurut dia, pemerintah hingga masyarakat sekitar harus peduli pada kondisi setiap anak yang ada di lingkungannya.
“Tetangga, pemerintah desa, pemerintah daerah, dan masyarakat sekitar harus serta wajib peduli kepada setiap anak yang ada di lingkungannya sesuai dengan mandat Undang-Undang Perlindungan Anak,” katanya.
Dia menambahkan, peristiwa ini mencerminkan adanya pelanggaran hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, seperti hak anak atas kesehatan dan perlindungan dari penyakit, hak atas pengasuhan, hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, hingga hak atas identitas.
Selain itu, kata dia, akses terhadap jaminan sosial yang belum tersedia dan layanan kesehatan yang terlambat adalah catatan kelam bagi kita semua yang tidak boleh terulang kepada anak mana pun.
DPR Menilai Pemerintah Lalai
Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menilai pemerintah lalai dalam kasus kematian balita akibat cacingan kronis di Sukabumi. Menurut dia, kejadian ini menunjukkan pemerintah abai terhadap kondisi anak yang tubuhnya dipenuhi cacing.
Anak perempuan itu tinggal bersama orang tuanya yang mengalami gangguan jiwa. “Jadi, kalau kita abai terhadap hal itu, bisa saja ketidakmampuan pemerintah daerah,” tuturnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu lalu.
Melihat kondisinya, kata Marwan, keluarga sang anak pasti termasuk kategori sangat miskin atau Desil I Data Tunggal Sosial-Ekonomi Nasional. Dengan demikian, antisipasi dan penanganan kasus itu semestinya dipantau oleh Kementerian Sosial.
“Yang namanya anak tetap perlindungannya apa pun. Apalagi kita punya Kementerian Sosial yang khusus menangani itu. Apalagi kalau sudah kategori tidak normal orang tuanya,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Menurut Marwan, dengan kecanggihan teknologi untuk menyebarluaskan informasi, seharusnya kematian sang balita bisa dicegah oleh pemerintah dan masyarakat setempat. “Patut kita pertanyakan, masak enggak ada orang di sekelilingnya yang melaporkan itu,” ucapnya.
Dia menekankan bahwa Kementerian Sosial memiliki anggaran khusus untuk mendistribusikan bantuan sosial kepada keluarga miskin lewat Program Keluarga Harapan ataupun Bantuan Pangan Non-Tunai. Dia sangat menyesalkan nyawa balita itu tak terselamatkan.
Marwan juga menilai pemerintah daerah seharusnya bisa menghalau kejadian ini. “Jangankan pemerintah daerah, masyarakat sekelilingnya lalai, kok. Kalau pemda sudah sangat lalai,” ujarnya. Marwan mendorong agar kasus ini dijadikan bahan evaluasi atas kelalaian pemerintah merespons kondisi lapangan.
Dinda Shabrina, Dian Rahma Fika, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Alumni SMA Taruna Nusantara: Pintu Masuk Kekuasaan Prabowo