
PENETAPAN tersangka dan penahanan Nadiem Anwar Makarim oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 4 September 2025 menguji kedewasaan kita membaca perkara korupsi pada sektor pendidikan. Perdebatan publik tidak boleh berhenti pada sensasi, apalagi mendikotomikan 'prodigitalisasi' versus 'antiperangkat', tetapi beranjak ke dua ruang yang harus sama-sama tegas: ruang hukum yang mensyaratkan pembuktian kerugian negara secara nyata dan pasti serta ruang kebijakan yang memastikan belanja teknologi informasi dan komunikasi (TIK) benar-benar menghadirkan manfaat belajar di kelas.
Jaksa mengumumkan estimasi kerugian keuangan negara program digitalisasi pendidikan 2019-2022 sekitar Rp1,98 triliun, sedangkan nilai program perangkat TIK untuk sekolah pada periode 2019-2022 diperkirakan pada kisaran Rp9,3 triliun diperuntukkan Satker Kemendikbud-Ristek sebesar Rp3,6 triliun dan dana alokasi khusus (DAK) berbasis sekolah sebesar Rp5,7 triliun .
Kejagung mengakui, selain belum bisa memastikan nilai kerugian keuangan negara pengadaan perangkat TIK berbasis Chromebook periode 2020-2022, juga belum menentukan pihak yang diuntungkan atau aliran dana atas kerugian keuangan negara dimaksud. Kenyataan di atas menunjukkan peluang menteri pendidikan termuda sepanjang sejarah Republik ini menggunakan haknya melakukan praperadilan terbuka lebar.
Penetapan tersangka dan penahanan untuk dakwaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor apabila tidak menerima keuntungan dalam bentuk apa pun, alat bukti kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti berdasarkan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN).
Alat bukti yang diperoleh saat penahanan Nadiem belum mendukung beban pembuktian jaksa untuk proses persidangan tindak pidana korupsi (tipikor) sehingga pelimpahan kasus ke pengadilan tipikor akan terkendala.
Nadiem menegaskan klaim bahwa 97% perangkat telah diterima ±77 ribu sekolah sampai 2023 sebuah data capaian distribusi yang sejak awal dikemukakannya dalam berbagai pernyataan publik, dan dilaporkan media internasional. Klaim itu penting untuk mengukur 'kerugian nyata (actual loss)' versus 'potensi kerugian (potential loss)', terutama bila sebagian perangkat ternyata benar-benar berfungsi dan dimanfaatkan di sekolah.
Berbeda kebiasaan Kejagung sebelumnya yang menahan tersangka bersamaan dengan penyerahaan hasil audit PKKN, pada kasus Nadiem penahanannya dilakukan sebelum pembuktian menerima aliran dana dan kepastian jumlah kerugian keuangan yang disangkakan.
KONSTRUKSI HUKUM PENANGANAN KASUS
Adanya dua dokumen yang bertajuk Hasil Audit Program Bantuan Peralatan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi 2020 dan Hasil Audit Program Bantuan Peralatan TIK 2021-2022 dari BPKP bisa menggaransi Nadiem telah memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi.
Hasil audit BPKP yang dilakukan jauh sebelum proses penyidikan Kejagung digunakan kuasa hukum Nadiem menutup celah jaksa mengemukakan dalil terjadi penyalahgunaan wewenang oleh 'Mas Menteri' dalam pengadaan laptop itu. Kalau ditemukan kerugian keuangan negara, kerugian tersebut tidak memenuhi unsur pidana korupsi, tetapi hanya berpeluang dituntut secara perdata sebagai kesalahan administrasi belaka.
Tim hukum Nadiem juga mengemukakan hasil audit BPKP tidak menemukan mark-up, tidak ada pihak lain yang diuntungkan, dan menyatakan tidak ada aliran uang yang dinikmati Nadiem. Klaim pembelaan patut didengarkan, tetapi tetap diuji dalam mekanisme peradilan. Permintaan audit PKKN oleh Kejagung kepada BPKP untuk kepentingan pro justitia berpotensi mengancamkan auditor melakukan proses audit secara objektivitas sesuai dengan standar audit yang ditetapkan, karena mengkoreksi dua hasil audit sebelumnya.
Sejak Putusan MK No 25/PUU-XIV/2016, tafsir unsur pidana korupsi 'merugikan keuangan negara' berubah dari delik formal menjadi delik materiel sehingga kerugian harus benar-benar terjadi, nyata, dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum.
Putusan itu sekaligus menegaskan rujukan definisi dalam UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa kerugian negara/daerah adalah 'kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya'. Dengan demikian, angka Rp1,98 triliun wajib ditopang audit PKKN yang dapat diuji kebenaran materielnya di pengadilan, bukan sekadar potensi dan estimasi.
Implikasi praktis putusan MK itu menuntut metodologi audit PKKN dengan standar yang jelas. Metodologi audit PKKN harus terbuka sebagai dasar pembanding harga, metode depresiasi, masa pakai, pembeda antara perangkat dan layanan/lisensi, serta pemilahan apakah dihitung total loss atau net loss setelah memperhitungkan perangkat yang terbukti berfungsi di sekolah.
Sementara itu, lembaga yang menghitung harus berwenang, independen, dan objektif dan hasilnya harus dapat diaudit silang oleh ahli/inspektorat serta diuji di muka persidangan. Dengan standar itu, aparat penegak hukum menjaga kepastian hukum dan rasa keadilan.
Perkara itu tidak boleh mengerdilkan agenda digitalisasi, tetapi justru memperbaikinya. Ada tiga simpul kebijakan yang kerap menjadi pintu risiko. Pertama, spesifikasi yang terlalu mengarah ke produk tertentu atau menyatukan perangkat lisensi layanan tanpa justifikasi manfaat membuka ruang keberpihakan dan mengaburkan evaluasi biaya-manfaat. Pembuktian pelanggaran prosedur, antara menunjuk merek tertentu yang dilarang dan menstandarkan spesifikasi yang dibolehkan, perlu dilakukan.
Kedua, kanal belanja dan tata kelola Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (Siplah) ialah ekosistem marketplace yang dikembangkan Kemendikbud-Ristek (dengan supervisi LKPP), untuk memudahkan sekolah berbelanja secara daring; ia berbeda dari E-Katalog LKPP yang merupakan katalog nasional produk/jasa pemerintah.
Ketiga,penerima manfaat akhir (end-user) ialah proses belajar-mengajar kelas dan distribusi bukanlah tujuan akhir. Tanpa data pemanfaatan, penilaian kerugian dan efektivitas program menjadi kabur.
Skala program digitalisasi 2020-2022 digambarkan publik sekitar Rp9,3 triliun dengan rencana hingga 1,2 juta unit perangkat berbasis Chrome OS.
Dua hal penting di sini ialah (i) angka-angka tersebut harus diuji silang dengan data realisasi kontrak dan serapan dan (ii) di atas itu semua, tingkat pemakaian di kelas dan dampaknya terhadap mutu belajar harus didemonstrasikan. Tudingan menunjuk merek tertentu terhadap produsen laptop harus dibedakan dengan penetapan standardisasi software tertentu untuk keseragaman digitalisasi pendidikan.
PENGADILAN ARENA PEMBUKTIAN PERKARA
Agar penegakan hukum benar-benar menghadirkan keadilan substantif, ada lima koreksi operasional yang sekaligus bisa dipakai jaksa, auditor, dan pemerintah daerah sebagai pembenahan sistemis. Pertama, tetapkan spesifikasi fungsional yang merek-agnostik; terjemahkan tujuan pedagogis ke indikator kinerja perangkat, bukan merek. Publikasikan matriks evaluasi yang dipakai panitia.
Kedua, bangun dan buka data pemanfaatan di level sekolah: tingkat aktivasi, konektivitas, jam pakai PBM, kesiapan guru; jadikan itu variabel koreksi saat menghitung net loss.
Ketiga, audit PKKN dengan metodologi yang dapat diuji: tetapkan pendekatan (total versus net loss) sebelum menghitung, cantumkan pembanding harga, umur ekonomis, dan komponennya (perangkat versus lisensi/dukungan). Publikasikan ringkasannya.
Keempat, jejak keputusan lintas kanal (Siplah/E-Katalog): arsipkan risalah lengkap, materi paparan, daftar hadir, notulen, dan komunikasi dengan prinsipal/agen; itu memudahkan membedakan kesalahan desain dengan niat jahat.
Kelima, kapasitas dan telaah independen: wajib ada review teknis lintas instansi (pengadaan TIK, hukum kontrak, TCO) sebelum tender; pascatender, lakukan audit manfaat (benefit realisation) tiap semester.
Kasus besar sering menggoda kita menarik simpulan serampangan: menyalahkan seluruh program, menstigma semua perangkat, atau sebaliknya menafikan potensi kerugian karena 'niatnya baik'. Padahal, putusan MK menempatkan kita di koridor yang jelas: kerugian harus nyata, pasti, dan terkait langsung dengan perbuatan melawan hukum. Jika nantinya terbukti ada mark-up, persekongkolan, atau penyalahgunaan wewenang, tegakkan hukum sekeras-kerasnya.
Jika yang dominan ternyata cacat desain dan kelemahan eksekusi, perbaikilah tata kelolanya tanpa membunuh misi digitalisasi. Itulah cara menjaga keadilan substantif dan kepentingan publik sekaligus.
Pengadilan harus bekerja pada bukti, bukan opini; penyidik harus berdiri pada PKKN yang sahih, bukan perkiraan. Pada saat bersamaan, pemerintah wajib menghadirkan data pemanf...