KOMISI VIII Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah memulai pembahasan daftar inventarisasi masalah revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan Umrah. Total ada 768 poin DIM Rancangan Undang-Undang Haji dan Umrah yang disusun oleh pemerintah dan telah diserahkan pada 18 Agustus 2025 lalu.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Haji dan Umrah Singgih Januratmoko menyebut 445 poin di antaranya bersifat tetap dan 92 dihapuskan. “Namun, setelah dilakukan pencermatan ada beberapa DIM yang tetap harus dibahas lebih dalam,” ucap Singgih di ruang rapat Komisi VIII DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengusulkan pembahasan DIM itu dilakukan per klaster atau per bab. “Kalau disetujui per klaster, nanti kita melihat yang eksisting, kemudian rencana kira-kira ada perubahan atau tidak klaster itu per babnya,” kata Marwan.
Menurut politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini, RUU Haji penting untuk segera disahkan. Dia menyebut bila terus diundur, maka akan berbahaya bagi jemaah haji ke depannya. Sebab, negara nantinya tidak bisa memastikan siapa yang akan menyelenggarakan pelaksanaan ibadah haji 2026.
“Kalau dibiarkan Kementerian Agama galau juga, karena perintah undang-undang masih dia. Kalau dia tidak kerjakan, nanti disalahkan Menteri Agama,” ujar Marwan.
Di sisi lain, Badan Penyelenggara Haji akan merasa memiliki kewenangan lantaran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 154 Tahun 2024 sudah terbit. “Tapi tidak bisa juga karena undang-undangnya belum ada,” kata dia.
Maka dari itu berbagai pertimbangan soal RUU Haji harus segera diambil dan diputuskan. Adapun RUU Haji merupakan salah satu rancangan yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2025-2029. Lewat perubahan ketiga UU Nomor 8 Tahun 2019, Badan Penyelenggara atau BP Haji akan mengambil alih manajemen haji per 2026.