PERNYATAAN anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, mengenai total pendapatan bersih legislator periode 2024-2029 yang mencapai Rp 100 juta per bulan memicu polemik di tengah masyarakat. Pengakuan ini menyoroti adanya peningkatan pendapatan legislator yang salah satunya disebabkan oleh perubahan kebijakan fasilitas perumahan.
Untuk periode 2024-2029, anggota DPR tidak lagi menerima fasilitas rumah dinas. Kebijakan tersebut digantikan dengan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta yang diterima setiap bulan sebagai komponen pendapatan. Hal ini diungkapkan secara terbuka oleh Tubagus Hasanuddin.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Rp 50 juta untuk tunjangan perumahan. Disebut buka rahasia, ya, enggaklah, ini kan duit rakyat juga," ujarnya pada Selasa, 12 Agustus 2025.
Pengakuan tersebut sontak menuai reaksi luas dari warganet yang menyoroti besarnya pendapatan para wakil rakyat. Bahkan, muncul kalkulasi di ruang publik yang menyebutkan seorang legislator dapat mengantongi pendapatan sedikitnya Rp 3 juta per hari, sehingga memicu perdebatan mengenai kewajaran jumlah tersebut.
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan kebijakan tunjangan perumahan bagi anggota dewan periode 2024-2029 diterapkan karena beberapa alasan mendasar. Menurutnya, kondisi rumah dinas yang dibangun pada tahun 1988 kini dinilai tidak lagi layak huni. Ia berpendapat akan lebih boros jika negara terus mengeluarkan anggaran untuk pemeliharaan aset tersebut. Rencana pemindahan ibu kota negara juga menjadi faktor pertimbangan lain dalam penggantian fasilitas ini.
"Biaya pemeliharaan rutin tidak lagi sebanding dengan manfaat yang didapat. Selain itu, karena adanya rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur," ujar Indra pada Senin, 18 Agustus 2025.
Indra menegaskan nominal tunjangan sebesar Rp 50 juta per bulan tidak ditetapkan sepihak. Angka tersebut merupakan hasil pembahasan bersama Kementerian Keuangan. Besaran tunjangan itu didasarkan pada kajian terhadap tunjangan serupa yang diterima anggota DPRD Jakarta. Kajian tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan standar biaya sewa rumah yang layak di sekitar Jakarta, tempat para anggota DPR menjalankan tugasnya.
Ketua Badan Anggaran atau Banggar DPR, Said Abdullah, menyatakan pemberian tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan bagi legislator adalah langkah efisiensi anggaran. Menurutnya, kebijakan ini dapat menghemat ratusan miliar rupiah yang sebelumnya dialokasikan untuk biaya pemeliharaan Rumah Jabatan Anggota (RJA). "Lebih baik tunjangan perumahan daripada ratusan miliar setiap tahun untuk memperbaiki RJA," kata Said di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 19 Agustus 2025.
Said menjelaskan, biaya perawatan RJA sangat besar karena mencakup pemeliharaan taman, gaji petugas keamanan, hingga renovasi kerusakan. Ia menilai alokasi anggaran untuk rumah dinas sebagai sebuah pemborosan. "Kami menghindari pemborosan. Kan RJA itu boros. Biaya pemeliharaannya yang boros," katanya.
Selain efisiensi, ia menilai tunjangan ini dapat mendorong kinerja anggota dewan karena mereka bisa tinggal lebih dekat dengan kompleks parlemen di Senayan. Menanggapi sorotan publik, Said mengklaim fasilitas serupa juga dinikmati oleh pejabat lain, seperti menteri dan anggota DPD. "Menteri semua punya rumah. Tapi disediakan rumah dinas. Kenapa kalian enggak protes juga?" ujar Said.
Kritik Publik
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai kinerja legislasi DPR buruk, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Ia menyoroti dari 42 Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas, baru satu yang disahkan, yakni revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. "Revisi UU TNI itu juga banyak dikritik karena pembahasannya yang cepat dan minim partisipasi publik," ujar Lucius pada Senin, 18 Agustus 2025.
Ia juga mengklarifikasi klaim pimpinan DPR yang menyebut telah merampungkan 14 RUU, dengan menyatakan 13 di antaranya berasal dari RUU kumulatif terbuka, bukan RUU prioritas sesuai Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dari sisi pengawasan, Direktur Indonesian Parliamentary Center, Ahmad Hanafi, menilai DPR lebih berperan sebagai "stempel pemerintah" karena kerap menyetujui kebijakan tanpa pembahasan mendalam. Hal ini diamini oleh Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, yang mengkritik lemahnya pengawasan DPR terhadap program beranggaran besar seperti makan bergizi gratis dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Mana ada laporan hasil pengawasan anggaran program-program itu oleh DPR?" tanya Misbah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menambahkan contoh konkret minimnya pengawasan, yakni pada kasus keracunan makanan dalam program makan bergizi gratis yang terus berulang. Menurutnya, sebagai lembaga pengawas, DPR minim tindakan. Kinerja yang dianggap buruk ini membuat Egi menilai pendapatan dewan tidak sepadan. Ia berpendapat kenaikan tunjangan tidak pantas diberikan. "Anggota DPR tidak pantas mendapatkan tunjangan tambahan. Bahkan semestinya gajinya diturunkan. Tidak ada hal positif yang dilakukan dalam setahun terakhir kinerja DPR." tegasnya.