
PARTAI politik sejak lama dipandang sebagai salah satu elemen fundamental dalam sistem demokrasi modern. Melalui partai politik, rakyat dapat menyampaikan aspirasi, memperjuangkan kepentingan, serta ikut memastikan lahirnya pemimpin yang sah secara konstitusional.
Dalam teori demokrasi, partai bahkan sering dijuluki sebagai ‘sekolah politik’ karena di dalamnya berlangsung proses kaderisasi, pendidikan politik, hingga pembentukan etika kepemimpinan. Idealnya, partai politik menjadi arena dimana calon-calon pemimpin digembleng, dididik, dan diuji agar mampu menjalankan amanat rakyat dengan integritas.
Namun, kenyataan politik di Indonesia menunjukkan jurang yang cukup lebar antara teori dan praktik. Setelah lebih dari dua dekade reformasi, wajah partai politik masih dihantui problem klasik yang seolah tidak pernah selesai. Demokrasi internal yang lemah, mekanisme kaderisasi yang mandek, pola rekrutmen yang eksklusif, absennya standar etik yang jelas, hingga soal pendanaan yang rawan konflik kepentingan menjadi persoalan berulang dari satu periode ke periode berikutnya.
Tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai terus mengalami erosi. Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Mei 2025 memperlihatkan bahwa partai politik masih menempati posisi terendah dalam hal kepercayaan publik. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik hanya berada di kisaran 65,6%.
Publik lainnya masih bersikap apatis bahkan curiga terhadap institusi yang sejatinya berfungsi sebagai penghubung utama antara rakyat dan negara. Angka tersebut merupakan peringatan serius, karena tanpa legitimasi publik, partai sulit mempertahankan peran vitalnya sebagai tulang punggung demokrasi.
EMPAT MASALAH
Studi yang dilakukan Direktorat Komunikasi Politik Bappenas pada 2024 menyebut empat masalah utama yang dihadapi partai politik Indonesia. Pertama, ketiadaan standar etik yang tegas dan konsisten. Sebagian partai memang memiliki aturan internal yang disebut kode etik, tetapi aturan tersebut umumnya hanya berupa pernyataan normatif yang abstrak dan sulit diimplementasikan secara adil. Bahkan penerapannya disebut sering kali diskriminatif.
Praktik penegakan etik di dalam partai terkesan belum didasarkan pada prinsip keadilan dan integritas, melainkan pada pertimbangan patronase politik. Majelis atau dewan etik partai sering kali lebih tunduk pada kepentingan elite ketimbang pada objektivitas aturan. Akibatnya, kode etik dinilai gagal berfungsi sebagai instrumen pembinaan moral, dan hanya menjadi dokumen formal yang tidak banyak bermakna secara substantif.
Ketiadaan standar etik yang jelas tersebut berdampak langsung pada kualitas kader yang dilahirkan. Tanpa fondasi moral yang kokoh, sulit berharap partai mampu menghasilkan pemimpin yang konsisten menjunjung integritas. Padahal, dalam sistem demokrasi, integritas merupakan komponen esensial bagi kepercayaan publik.
Kedua, problem kaderisasi dan rekrutmen politik yang lebih menekankan pada kedekatan personal dengan elite partai atau kemampuan finansial kandidat ketimbang kualitas, kompetensi, atau konsistensi rekam jejak. Dampaknya, proses kaderisasi yang seharusnya menjadi jalur utama pembentukan pemimpin justru terpinggirkan dan makin menyempit. Situasi tersebut makin diperburuk oleh praktik sentralisasi pencalonan yang didominasi oleh pimpinan partai di tingkat pusat.
Fenomena ini melahirkan kecenderungan personalisasi kekuasaan dan menguatnya politik kekerabatan di tubuh partai politik. Banyak posisi strategis, baik di parlemen maupun pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang berasal dari lingkaran keluarga atau kroni elite partai. Calon legislatif dan pejabat publik lebih ditentukan oleh kemampuan ‘membeli tiket politik’ daripada hasil proses kaderisasi yang ideologis dan melembaga. Konsekuensinya, partai gagap memainkan fungsi pendidik politik yang seharusnya melekat pada dirinya.
Politisi yang muncul dari mekanisme instan semacam itu biasanya lebih berorientasi pada kepentingan personal dan patron politik, bukan kepentingan rakyat luas. Mereka tidak terbiasa mengedepankan meritokrasi, melainkan lebih setia pada sistem patron-klien yang selama ini menjerat dunia politik. Pada akhirnya, saat terpilih memenangi kursi, mereka tidak mampu menjalankan peran-peran sebagai artikulator aspirasi konstituen, melainkan condong bersikap pragmatis dan oportunistik.
Ketiga, lemahnya demokrasi internal semakin memperburuk kinerja partai. Secara normatif, partai kerap berbicara mengenai musyawarah, rapat anggota, atau forum-forum demokratis lainnya. Namun, dalam praktik, pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan oleh segelintir elite yang ada di pucuk kepengurusan partai. Suara kader di basis jarang didengar, sementara keputusan penting seperti penentuan calon legislatif atau calon kepala daerah ditetapkan melalui rapat eksklusif di lingkaran elite.
Situasi tersebut membuat regenerasi kepemimpinan menjadi tersendat dan cenderung stagnan. Ruang kompetisi yang sehat nyaris tidak tersedia karena keputusan politik sudah terkunci di meja elite. Hal yang makin diperburuk, saat uang dan popularitas makin jadi faktor determinan dalam pencalonan.
Akhirnya, orientasi pada kursi menjebak partai untuk bertindak makin pragmatis karena lebih mengutamakan kemenangan, meskipun harus dilakukan dengan jalan pintas berupa pencalonan kandidat instan bermodalkan kapital besar dan ketenaran masyarakat. Publik kemudian melihat partai sebagai instrumen segelintir orang, bukan organisasi yang tumbuh dari aspirasi kolektif yang kokoh.
Keempat, masalah yang tidak kalah krusial ialah pendanaan partai. Di Indonesia, partai hampir sepenuhnya bergantung pada donasi pihak ketiga, baik dari swasta maupun individu. Iuran anggota partai tidak berjalan efektif, sedangkan sokongan dana dari negara jumlahnya masih sangat terbatas.
Ketergantungan pada sumber pendanaan swasta membuka pintu lebar bagi terjadinya konflik kepentingan. Donatur yang menjadi pemodal besar sering kali menuntut imbalan berupa akses terhadap kebijakan publik. Fenomena policy capture atau pembajakan kebijakan oleh kelompok atau kepentingan tertentu menjadi hal yang tak terhindarkan.
Tidak mengherankan bila kasus korupsi politik kian marak, akibat partai maupun politisi yang duduk di kursi kekuasaan merasa berkewajiban ‘mengembalikan modal’ yang mereka keluarkan pada masa pencalonan dan kampanye. Dalam kondisi seperti itu, demokrasi menjadi tercederai dan makin jauh dari karakteristiknya. Kebijakan negara cenderung berpihak pada kepentingan pendonor daripada kepentingan publik luas. Partai politik pun makin jauh dari peran substantifnya sebagai institusi demokrasi.
PRIORITAS PEMBENAHAN
Karena itu, berangkat dari berbagai persoalan di atas, revisi terhadap Undang-Undang Partai Politik bukan lagi bersifat opsional, melainkan merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera direalisasikan. Berdasarkan uraian problematika temuan studi Bappenas di atas, empat bidang strategis berikut harus menjadi prioritas pembenahan, mencakup (1) penegasan standar etik partai, (2) reformasi rekrutmen dan kaderisasi, (3) penguatan demokrasi internal, serta (4) perbaikan sistem pendanaan partai.
Pertama, kode etik partai harus dirumuskan secara rinci, rigid, dan dapat diakses publik. Penegakannya tidak boleh hanya menjadi urusan internal partai, melainkan harus melibatkan mekanisme eksternal yang imparsial. Pelanggaran etik tidak boleh ditangani secara diskriminatif, tetapi mesti ditegakkan berdasarkan prinsip keadilan dan integritas.
Kedua, kaderisasi dan rekrutmen harus berbasis sistem merit. Antara lain, calon anggota DPR harus sudah menjadi pengurus partai minimal tiga tahun sebelum pendaftaran calon dilakukan. Adapun calon anggota DPRD minimal dua tahun. Ketentuan ini penting agar calon legislatif benar-benar ditempa dalam proses kaderisasi partai, bukan sekadar muncul sebagai figur instan menjelang pemilu.
Persyaratan durasi minimal sebagai kader untuk pencalonan pemilu, konstitusionalitasnya sudah dijamin Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan hukum Putusan No 144/PUU-XX/2022. Selain itu, untuk optimalisasi kaderisasi dan rekrutmen, partai juga perlu diwajibkan membina organisasi sayap pemuda dan perempuan, serta memberi afirmasi nyata bagi kelompok marginal seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
Ketiga, demokrasi internal partai harus diperkuat. Pengambilan keputusan mesti berbasis mekanisme yang inklusif dan deliberatif, bukan berdasarkan instruksi sepihak dari elite. Anggota partai harus diberi akses dalam pemilihan pengurus, penentuan calon legislatif, hingga penetapan calon kepala daerah. Untuk itu, negara bisa memberikan insentif fiskal kepada partai yang konsisten menjalankan demokrasi internal.
Keempat, pembenahan pendanaan partai merupakan syarat mutlak dalam institusionalisasi ...