Menata Ulang Desentralisasi Fiskal: Dari Dana Mengendap hingga Momentum Kemandirian

7 hours ago 5
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
  Dari Dana Mengendap hingga Momentum Kemandirian (Dok. Pribadi)

HIRUK pikuk fiskal daerah kembali memanas. Di tengah gejolak ekonomi global dan upaya konsolidasi anggaran negara, sinyal pengurangan Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat menjadi alarm keras bagi banyak kepala daerah. Pengurangan ini bukan sekadar urusan angka, melainkan ujian nyata kematangan desentralisasi fiskal kita.

Bagi banyak pemerintah daerah, TKD adalah nyawa. Selama ini, porsi TKD bisa mencapai lebih dari 40% dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di banyak provinsi. Tak sedikit kabupaten yang bahkan bergantung hingga 70%-80%. Artinya, hampir separuh roda pembangunan daerah disetir dari Jakarta.

Ketergantungan ini diperparah oleh kualitas belanja yang sering kali tidak efisien. Di banyak daerah, struktur APBD masih pincang. Alih-alih menjadi anggaran investasi yang produktif, porsi terbesar justru tergerus oleh belanja pegawai yang membengkak. Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan, belanja pegawai menyedot lebih dari sepertiga APBD di mayoritas daerah. Menyisakan remah-remah untuk belanja publik yang benar-benar produktif.

Ketika TKD dipangkas, ruang fiskal daerah otomatis menyempit. Daerah non-metropolitan, yang rata-rata memiliki pendapatan asli daerah (PAD) di bawah 30%, langsung megap-megap.

DANA MENGENDAP DAN PERDEBATAN BARU

Situasi fiskal daerah semakin memanas setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadhewa menyoroti fenomena dana mengendap di kas pemerintah daerah yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah. Ia menyebut, pola dan kebiasaan belanja daerah perlu diubah agar tidak menumpuk di akhir tahun dan tidak menghambat perputaran ekonomi nasional.

Pernyataan itu segera memicu perdebatan. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membantah data yang disampaikan Menkeu, meski kemudian mengakui dengan angka yang lebih sedikit. Sebaliknya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung justru mengonfirmasi fenomena tersebut dan menyebut bahwa pemerintahannya tengah melakukan re-engineering perencanaan dan realisasi anggaran agar penyerapan lebih merata sepanjang tahun.

Polemik ini membuka bab baru dalam diskursus relasi fiskal pusat-daerah. Ia menunjukkan bahwa problem desentralisasi fiskal bukan hanya soal besar kecilnya transfer dana, tetapi juga tentang disiplin, pola, dan filosofi belanja daerah itu sendiri.

GODAAN KEBIJAKAN TIDAK POPULIS

Dengan defisit anggaran yang menganga, daerah lantas terdesak mencari sumber uang instan. Cara paling klasik ialah menggenjot PAD, tetapi yang muncul sering kali merupakan godaan kebijakan yang tidak populis dan tidak prorakyat.

Kita menyaksikan kegaduhan rencana penaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) secara ekstrem di beberapa daerah. Atau, munculnya wacana-wacana pajak yang didorong oleh kebutuhan mendesak, seperti isu penertiban pelat nomor kendaraan luar daerah di Sumatra Utara dan Riau yang sejatinya dilandasi oleh niat meningkatkan penerimaan dari pajak kendaraan bermotor. Ini menunjukkan, betapa krisis fiskal telah memaksa daerah mencari solusi jangka pendek yang berisiko menekan daya beli masyarakat.

Kegelisahan ini lantas memuncak dalam pertemuan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Para gubernur mencoba melakukan negosiasi, mengutarakan kekhawatiran mereka akan terhambatnya program prioritas. Reaksi ini wajar, mencerminkan besarnya tekanan politik dan ketergantungan.

JALAN INOVASI JAKARTA: MOMENTUM CREATIVE FINANCING

Namun, di tengah keriuhan negosiasi, DKI Jakarta memilih jalur yang berbeda. Gubernur Pramono Anung menyadari bahwa penurunan TKD tak bisa ditolak. Dana Bagi Hasil untuk Jakarta pada 2026 diproyeksikan hanya Rp7,52 triliun, turun 59,47% jika dibandingkan dengan tahun 2025 yang sebesar Rp18,57 triliun. Alih-alih merajuk, Jakarta justru memandang ini sebagai momentum untuk menggencarkan creative financing dan disiplin fiskal.

Sikap Jakarta ini sejalan dengan konsep pemberdayaan finansial (financial empowerment) dalam desentralisasi. Literatur municipal finance sering menyatakan, desentralisasi akan berhasil jika kota bertransformasi dari penyedia layanan yang pasif menjadi fasilitator infrastruktur yang proaktif. DKI Jakarta telah lama merintis jalan proaktif ini.

Pembiayaan kreatif (creative financing) bagi Jakarta bukanlah jargon baru. Skema kompensasi koefisien lantai bangunan (KLB), di mana pengembang membayar kompensasi tertentu ketika membangun lebih tinggi, adalah praktik nyata dari konsep land value capture (LVC). Skema ini memungkinkan kota mendanai infrastruktur tanpa membebani APBD secara langsung.

Selain itu, wacana obligasi daerah yang pernah disiapkan di era Fauzi Bowo dan kini dielaborasi lebih jauh dengan rencana Jakarta Collaborative Fund (JCF) adalah langkah maju yang sangat fundamental. Obligasi daerah, menurut studi Sheikh dan Asher (2012), adalah kunci untuk menciptakan kemandirian keuangan lokal dan memungkinkan pemerintah daerah mempercepat pembangunan tanpa bergantung pada pendanaan pemerintah pusat.

Jika berhasil, Jakarta Collaborative Fund (JCF) akan menjadi pionir sekaligus referensi bagi daerah lain bahwa ada jalan untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah tanpa harus membebani masyarakat dengan pungutan tambahan.

REPOSISI BELANJA DAN MENATA ULANG RELASI FISKAL

Selain inovasi mencari dana, Jakarta juga melakukan efisiensi belanja secara masif. Caranya beragam: memangkas belanja nonproduktif, mengoreksi ulang belanja hibah, hingga menekan jumlah penyedia jasa lainnya perorangan (PJLP) yang selama ini membengkak.

Pada saat yang sama, Jakarta memaksimalkan sinergi pendanaan, mengajukan program-program yang bisa dibiayai pusat—seperti revitalisasi rumah susun dan pembangunan sekolah—untuk dialihkan ke APBN. Dengan begitu, APBD Jakarta bisa lebih fokus pada kebutuhan strategis kota.

Respons berbeda antara Jakarta dan daerah lain menunjukkan bahwa relasi fiskal pusat-daerah kini berada di persimpangan. Pusat menuntut efisiensi, tetapi daerah merasa terkekang.

Idealnya, pengurangan TKD diimbangi dengan kebijakan yang memberi ruang lebih besar bagi daerah untuk inovasi pendapatan. Pemerintah pusat perlu mendesain ulang relasi fiskal: daerah harus diberi insentif untuk inovasi, misalnya melalui bagi hasil dari pajak-pajak ekonomi baru seperti pajak digital, atau bagi hasil karbon.

Pengurangan TKD ibarat ujian besar. Bagi Jakarta, ini bisa menjadi momentum untuk menggenjot kemandirian dan efisiensi. Akan tetapi, bagi banyak daerah lain, pemotongan ini bisa menjadi krisis serius yang mengancam layanan publik, memaksa mereka menerapkan kebijakan yang tidak adil.

Jika momentum ini gagal dimanfaatkan, ketimpangan fiskal akan makin menganga: Jakarta yang inovatif akan terus berlari, sementara daerah lain tertatih-tatih di jalan yang semakin sempit dan gelap.

Read Entire Article