Menata Pemilu Serentak bukan Menggaruk MK

4 weeks ago 42
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025. Hanya, reaksi yang menonjol tidak diarahkan untuk membahas substansi dan ide yang disampaikan dalam putusan MK tentang format keserentakan pemilu. Hanya berselang sepekan dari MK membacakan putusan, DPR justru merespons akan melakukan revisi terhadap UU MK.

Yang lebih mengejutkan lagi, materi revisi justru mengutak-atik lagi periodesasi masa jabatan hakim MK. Materi yang 'baru saja' pada 2020 lalu direvisi oleh DPR dan presiden. Tanpa bermaksud untuk menimbulkan tendensi kepada DPR, mahfum bagi banyak orang, ini adalah bentuk 'garukan' DPR terhadap MK. Beberapa partai politik di DPR berang karena MK memutus format keserentakan pemilu yang tidak sesuai dengan selera DPR.

Kalau membuka kembali gagasan hukum responsif yang dikembangkan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Law and Sciety in Transition: Toward Responsie Law, hukum mestinya dibentuk sebagai respons atas kebutuhan aktual dan sosial masyarakat. Bukan reaksi kemarahan atas lembaga peradilan yang putusannya dianggap tidak meguntungkan sebagian kelompok yang ada di lembaga legislasi. Hukum tidak boleh menjadi alat represi dari pemegang kekuasaan. Hukum mesti menjawab konteks sosial yang berubah. Orientasi terhadap pemecahan masalah ialah fondasi penting bagi para pembentuk hukum (Nonet & Selznick: 1978).

TAFSIR PEMILU SERENTAK

Putusan MK No 135/PUU-XII/2024 yang menafsirkan format keserentakan pemilu lahir dari kesadaran bahwa pilihan terhadap keserentakkan pemilu adalah hal yang sangat mendasar di dalam penyelenggaraan pemilu. Perkembangan paling mutakhir yang dijawab oleh MK di dalam putusan ini adalah pilihan keserentakan pemilu merupakan aspek yang berdampak langsung terhadap pemenuhan asas pemilu yang diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Dengan kondisi ini, tentu saja format keserentakan pemilu bukan lagi menjadi masalah implementasi UU atau merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk UU (open legal policy). Namun, pilihan model keserentakan pemilu ialah masalah konstitusionalitas norma yang mesti djawab dan diputus oleh MK. Bagian inilah yang tak terbaca dan diabaikan oleh banyak pihak.

Menurut MK, model keserentakan pemilu lima kotak (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) pada waktu yang bersamaan telah secara faktual menyulitkan tiga aktor utama pemilu: pemilih, penyelenggara, dan peserta pemilu. Kesulitan yang dialami pemilih, penyelenggara, dan peserta pemilu itu sudah berdampak pada pemenuhan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil di dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Pengalaman Pemilu 2019 dan 2024 telah meyakinkan MK bahwa kondisi aktual penyelenggaraan pemilu membuat MK mesti memperdalam tafsirnya terhadap format keserentakan pemilu. Penyelenggara pemilu, khususnya KPU, semakin keteteran mengelola tahapan pemilu lima kotak sekaligus. Manajemen penyelenggaraan pemilu berantakan. Hampir seluruh tahapan pemilu bermasalah. Mulai verifikasi partai, pencalonan, kampanye, pungut hitung, sampai proses rekapitulasi suara.

Kondisi buruk itu semakin terlihat ketika pemilu serentak lima kotak dihimpitkan tahapannya dengan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia pada 2024. Salah satu contoh saja, pada Pemilu 2024 yang lalu, KPU kabupaten/kota mesti melaksanakan pendaftaran pemilih untuk Pilkada 2024, tapi di saat yang bersamaan mesti mempertanggungjawabkan hasil Pemilu 2024 pada forum penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Pemilih pun menghadapi persoalan yang jauh lebih serius. Kualitas representasi pemilih semakin menurun jika dihadapkan pada pemilu serentak lima kotak. Suara pemilih yang tidak sah terus tinggi. Salah satu musabab keadaan ini ialah pemilih bingung dihadapkan pada lima surat suara sekaligus.

Belum lagi jumlah calon anggota legislatif per partai yang mesti disigi oleh pemilih. Bahkan, pada Pemilu dan Pilkada 2024 terpampang fenomena krusial lainnya: partisipasi pemilih dalam pilkada turun drastis karena jenuh dihadapkan pada perhelatan pemilu dua kali dalam jarak waktu yang sangat sempit.

Peserta pemilu, jika hendak jujur, sesungguhnya menghadapi persoalan yang jauh lebih pelik. Salah satu yang dapat dilihat secara terang benderang ialah kelelahan partai politik melakukan rekrutmen politik dalam satu momen yang sama untuk tiga layer pemilu legislatif sekaligus. Partai politik menghadapi situasi yang sangat sulit, ketika mesti 'merekrut' caleg untuk pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada satu waktu yang bersamaan.

Kalaupun bisa dilakukan, partai politik pada akhirnya masih sangat jauh dari menghadirkan calon anggota legislatif yang memiliki asosiasi nilai kepartaian yang kuat dan solid. Contoh terbaru tentu saja bagaimana partai politik 'menghindari' untuk memenuhi kuota 30% perempuan di dalam daftar caleg di setiap daerah pemilihan pada Pemilu 2024 yang lalu. Pangkal persoalannya tentu saja waktu yang sangat kasip di dalam melakukan rekrutmen politik dan konsolidasi organisasi.

Sengkarut persoalan pemilu yang dihadapi oleh pemilih, peserta, dan penyelenggara pemilu tentu tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Penyelenggaraan pemilu tidak bisa lagi hanya menjadi rutinitas lima tahunan, menghasilkan pejabat politik, lalu selesai. Namun, kualitas penyelenggaraan pemilu, nilai kedaulatan rakyat mesti ditingkatkan. Salah satu hulu dari persoalan ini ialah format keserentakan pemilu. Oleh sebab itulah, putusan MK tentang format keserentakan pemilu ini mestinya jadi pemantik bagi anggota DPR, termasuk presiden, untuk segera membahas revisi UU Pemilu dan Pilkada.

Reaksi menolak putusan MK, lalu menarik putusan MK menjadi bola liar ialah sikap yang tidak tepat. Putusan MK justru telah memberikan batasan konstitusional (constitutional boundary) bagi pembentuk undang-undang di dalam menata format keserentakan pemilu. Satu perdebatan yang berpotensi berlarut-larut di DPR sudah diberikan batasan oleh MK. Bahwa dari 2029, pemilu serentak terbagi atas dua: pemilu presiden, DPR, dan DPD dilaksanakan secara serentak, lalu dua tahun atau dua setengah tahun setelah pelantikan presiden atau pelantikan DPR, tahapan pemilu DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serentak dengan pemilihan kepala daerah bisa dimulai.

Memaknai putusan MK soal keserentakan pemilu itu memang tidak bisa hanya membenturkan masa transisi pemisahan pemilu DPR dengan pemilu DPRD. Apalagi membelokkan putusan MK dengan makna bahwa pemilu DPRD tidak lagi dilaksanakan satu kali dalam setiap lima tahun. Sama sekali tidak ada di dalam Putusan MK No 135/PUU-XXII/2025 yang mengatakan bahwa pemilu DPRD tidak lagi dilaksanakan lima tahun sekali. Aspek yang ditafsirkan oleh MK ialah jadwal pelaksanaan pemilu DPR tidak bisa lagi dilaksanakan bersamaan dengan pemilu DPRD. Terkait dengan masa jabatan anggota DPRD dan pelaksanaan pemilunya tetap dilaksanakan dalam siklus lima tahun sekali.

Tafsir MK yang memerintahkan pemisahan pemilu DPR dengan pemilu DPRD memang akan berkonsekuensi pada masa transisi waktu pelaksanaan pemilu DPRD dan kepala daerah. Masa transisi ialah sesuatu yang sah secara hukum sepanjang diatur di dalam undang-undang dan tidak merugikan subjek hukum yang paling terdampak dari masa transisi itu.

Oleh sebab itu, transisi waktu pemilu DPRD dan pemilihan kepala daerah perlu untuk dirumuskan secara matang. Opsi yang tersedia cukup banyak. Pilihan pertama bisa memperpanjang masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 sampai 2031. Pilihan yang lainnya, pemilu DPRD pada 2029 tetap dilaksanakan, tapi masa jabatannya hanya sampai 2031. Formulasi yang lain tentu juga tersedia. Kuncinya ialah pembentuk undang-undang mesti segera membahas revisi UU Pemilu agar seluruh pilihan dibincangkan di dalam kerangka kebijakan hukum.

ESENSI JUDICIAL REVIEW

Beberapa anggota DPR menyampaikan penolakan terhadap putusan MK karena menganggap MK menjadi pembuat norma atau sebagai positif legislator. Pendapat itu tentu agak sedikit menggelikan. Argumentasi menolak putusan MK karena menganggap MK menjadi pembentuk norma ialah pendapat yang sangat lemah dari segi konsep. Bahkan, pendapat tersebut menunjukkan sikap ahistoris terhadap lahirnya konsepsi judicial review pada 1803 di Amerika Serikat serta lahirnya lembaga Mahkamah Konstitusi di beberapa negara, termasuk di Indonesia.

Dalam konsep judicial review, putusan MK memang hampir bisa dipastikan akan melahirkan norma baru. Sebab, dalam kewenangan menguji dan menafsirkan konstitusi, Mahkamah memang diberikan kewenangan menafsirkan norma yang sesuai dengan nilai yang terkandung oleh konstitusi.

Hasil penafsiran dari Mahkamah itu ialah tafisir terhadap nilai-...

Read Entire Article