DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan anggota parlemen mendapat tunjangan rumah senilai lebih kurang Rp 50 juta per bulan. Alasannya, kata Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, anggota DPR periode 2024-2029 tidak lagi menerima fasilitas Rumah Jabatan Anggota atau RJA.
Indra menuturkan Sekretariat Jenderal DPR menganggap kondisi fisik rumah jabatan yang berlokasi di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, sudah tidak layak dan tidak ekonomis untuk dipertahankan. Menurut dia, biaya pemeliharaan pun tidak lagi sepadan.
“Kami banyak menerima keluhan dari anggota DPR RI terkait dengan bangunan yang sudah berusia tua dan sering mengalami kerusakan yang cukup parah, terutama bocoran dan air hujan dari sungai yang melintasi tengah-tengah perumahan juga,” kata Indra ketika dihubungi pada Senin, 18 Agustus 2025.
Rumah jabatan tersebut dibangun pada 1988 atau sudah berusia hampir 40 tahun. DPR menilai revitalisasi RJA secara menyeluruh justru membutuhkan anggaran yang sangat besar. Biaya pemeliharaan rutin juga dianggap tidak lagi seimbang dengan manfaat yang didapat.
Karena itu, Indra menyebutkan, mulai 2025, Setjen DPR tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk pemeliharaan rumah jabatan Kalibata. Hal itu juga sudah dibahas dalam Rapat Pimpinan DPR periode 2019-2024. “Sehingga ditetapkanlah mekanismenya menjadi pemberian tunjangan perumahan kepada anggota DPR RI, sebagai kompensasi atas tidak disediakannya lagi RJA bagi para anggota DPR,” kata Indra.
Pemberian tunjangan rumah kepada anggota DPR itu mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Mereka mengkritik keputusan tersebut.
ICW: Menghamburkan Uang Negara
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tunjangan rumah bagi anggota DPR bentuk pemborosan anggaran. Nilainya mencapai Rp 1,74 triliun.
Kepala Divisi Advokasi ICW Egi Primayogha mengatakan DPR harus menjelaskan alasan yang lebih kokoh perihal pemberian tunjangan tersebut. Angka Rp 50 juta per anggota selama lima tahun, apakah sudah mengikuti standar dan ketentuan yang berlaku.
“580 anggota DPR dikali Rp 50 juta selama 60 bulan, memboroskan anggaran publik hingga Rp 1,74 triliun,” kata Egi melalui keterangan resminya pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Egi menilai pemberian tunjangan dengan nilai fantastis itu bukan keputusan yang patut dan adil. Sebab, warga akan menghadapi kesulitan akibat kenaikan pajak dan kesulitan lain yang sedang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
“Tunjangan perumahan kami duga kuat hanya untuk menambah biaya politik untuk menebus ongkos pemilu, atau merawat jaringan patronase para politisi DPR,” kata Egi.
Lebih jauh, Egi mengatakan DPR harus mengumumkan besaran anggaran yang diterima selama menjabat termasuk anggaran reses dan kunjungan daerah. “Perlu ada kejelasan apakah anggaran tersebut mengalami kenaikan dari sebelumnya,” kata Egi.
FITRA: Pemborosan dan Rawan Disalahgunakan
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Seknas FITRA menilai tunjangan kompensasi pengganti rumah dinas DPR justru kontraproduktif di tengah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
Sekretaris Jenderal FITRA Misbah Hasan mengatakan tunjangan rumah DPR ini sebagai pemborosan anggaran negara. Sebab, anggaran ini seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan, seperti percepatan program 3 juta rumah layak huni bagi masyarakat miskin, apalagi ketika rakyat berjuang membayar rumah kontrakan.
“Wakil rakyat justru meminta kontrakan mewah dengan uang negara. Kondisi ini semakin menegaskan jargon efisiensi tidak sejalan dengan praktik boros DPR,” kata Misbah dalam keterangan tertulisnya pada Rabu.
Misbah berpendapat tunjangan rumah DPR dengan skema lumpsum jelas tidak transparan dan potensi penyalahgunaannya tinggi. Dia mengatakan belum tentu tunjangan yang diterima digunakan untuk kebutuhan rumah sewa atau kontrak karena tidak ada laporan aktualnya.
“Padahal ada mekanisme lain seperti reimbursement atau laporan penggunaan keuangan yang memungkinkan publik lebih mengetahui dan menjamin akuntabilitas,” kata Misbah.
Menurut dia, kebijakan tunjangan rumah DPR yang besar justru memperlebar kesenjangan antara anggota DPR dan rakyat yang mereka wakili. Misbah mengungkapkan banyak warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dia mengatakan rasio gini di Indonesia dalam 5 tahun terakhir cenderung tidak signifikan, yakni masih di sekitar angka 0,38 menurut data Badan Pusat Statistik.
“Artinya, secara statistik makro dampak pemberian tunjangan rumah dinas DPR dan rasio gini memang nyaris tak terlihat,” kata Misbah. “Namun secara persepsi keadilan dan legitimasi politik, kebijakan ini tetap bisa memperlebar jarak sosial antara elit dan rakyat.”
Celios: Tidak Mencerminkan Sense of Crisis
Adapun Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat angka tunjangan rumah anggota DPR terlalu besar.
“Tidak mencerminkan sense of crisis bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang efisiensi dan masyarakat sedang menghadapi tekanan daya beli,” katanya ketika dihubungi pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Berdasarkan data yang dia miliki, rata-rata pengeluaran per kapita untuk sewa rumah di Jakarta saat ini Rp 819 ribu per bulan. Dia menilai wakil rakyat seharusnya mengacu pada rata-rata biaya rakyat yang mereka wakilkan. Sebab, jika angkanya mencapai Rp 50 juta per bulan, kesenjangannya amat lebar dengan kenyataan di lapangan.
Ervana Trikarinaputri, Ade Ridwan Yandwiputra, Eka Yudha Saputra, dan Anastasya Lavenia Yudi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Dedi Mulyadi Imbau Hapus Tunggakan PBB, Pemkab dan Pemkot Bilang Ini